Wednesday, October 18, 2017

Fondasi & Filosofi Pendidikan Kristen dengan Metode Montessori.

PERBANDINGAN FONDASI DAN FILOSOFI PENDIDIKAN KRISTEN DENGAN METODE MONTESSORI
(Suatu tinjauan praktis filosofis)
 
Yulianawati, SE., M.Ed.
 
     
Seorang pendidik Kristen, terkadang hanyut dengan berbagai filosofi dan metode pendidikan yang ada saat ini, sehingga akhirnya menjadi bingung harus menggunakan filosofi dan metode mana yang tepat untuk mengajar setiap anak didiknya di sekolah.
   Teaching clinic ini bertujuan untuk membandingkan dan memeriksa apakah filosofi dari metode Montessori yang digunakan pada jenjang pendidikan TK (Taman Kanak-Kanak) sesuai dan sejalan dengan filosofi pendidikan Kristen yang seharusnya. Urgensitas kebutuhan untuk melihat filosofi metode tersebut dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa spiritual dalam filosofi (spiritual core) akan menghasilkan cara pandang (worldview), cara pandang akan menghasilkan budaya (culture), dan budaya akan menghasilkan perilaku & kebiasaan (habits and customs).[1] Artinya, sebuah filosofi dalam pengajaran akan membentuk perilaku dan kebiasaan cara seorang guru mengajar. Berdasarkan kepentingan inilah, kita perlu memahami arti sesungguhnya kata filosofi.    

Pengertian Filosofi
Kata  "philosophy" berasal dari bahasa Yunani φιλοσοφία (philosophia), yang literary berarti "love of wisdom" (kecintaan akan kebijaksanaan)[2] atau dapat juga didefinisikan sebagai: sebuah pencarian akan kebenaran dan prinsip keberadaan (what is the ultimate reality?), sebuah pencarian akan pengetahuan (what can be known and how?), sebuah pencarian akan prilaku manusia (how ought we to live?).[3]

Untuk membaca lengkap artikel ini, anda dapat klik ke judul di atas, "Fondasi dan Filosofi Pendidikan Kristen dengan Metode Montessori" atau klik Read More di bawah ini .....................  

Filosofi yang berkembang di dunia dipengaruhi oleh dua pemikir besar yaitu Plato dan Aristoteles. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa Plato menekankan pada idealisme, yaitu paham pemikiran tentang kebenaran, dan arti-arti dari segala hal yang terjadi dalam hidup manusia (ide), sedangkan Aristoteles menekankan pada realisme, yaitu paham pemikiran tentang hal-hal nyata (real) dan menawarkan pembuktian secara ilmiah. Kedua pemikiran tersebut tidak dapat menjelaskan hakikat keberadaan hidup manusia seutuhnya, karena manusia di dalam keterbatasannya tidak mungkin menemukan jawabannya. [4] Inilah penipuan terbesar dari Iblis dari sejak manusia pertama dijadikan, “Tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”[5] Sejak kejatuhannya, manusia cenderung berpikir bahwa ia mampu mengetahui sendiri tentang dirinya.
Sebagai pendidik Kristen, kita tahu bahwa filosofi sejati hanya dapat ditemukan dalam Kristus, kebuntuan pemikiran dari kedua pandangan filosofi di atas (Idealism dan Realism), dipecahkan oleh penyataan dari Tuhan sendiri, melalui kelahiran Yesus Kristus dan Alkitab. Allah yang transeden, yang berada di dunia ide itu diwujudkan secara nyata dalam dunia nyata (real) melalui kelahiran, kematian Kristus dan Alkitab. Thomas Aquinas juga percaya, bahwa segala kebenaran di muka bumi ini adalah kebenaran Allah (all truth is God’s truth).[6]

Filosofi dan Nilai Inti Pendidikan Kristen
Pendidikan Kristen didasari filosofi bahwa hanya di dalam Tuhan (Allah Trinitas), kita bisa menemukan sumber hikmat dan pengetahuan (Amsal 1:7, Ayub 28:28, Yohanes 14:6). [7] Takut akan Tuhan itulah yang melahirkan relasi, sikap patuh/respek dan kepercayaan. Kebenaran hanya ada pada satu pribadi yaitu Allah (Kristus), maka  tujuan pendidikan Kristen adalah mengarahkan murid untuk mengikuti dan menjadi serupa dengan Kristus.
Berikut ini akan dijabarkan beberapa nilai inti dari pendidikan Kristen yang berbeda dari nilai inti dalam metode Montessori :
a.    Berpusat pada Alkitab (Maz 3:1, Maz 119, Yoh 17:6-19, Kol 3:16, Kis 17:16-34, Kol 2:8, Yos 1:8-9, Ibr 1:1-2) 
      Pendidikan Kristen menitikberatkan bahwa segala sesuatu berpusat pada Alkitab. Dalam menyusun rencana pembelajaran (lesson plan), Alkitab menjadi pusat pembelajaran, maka guru akan selalu menghubungkan subyek pelajaran dengan Alkitab dan mengarahkan anak-anak untuk memiliki pemahaman yang makin bertambah mengenai Kristus. Guru akan membimbing anak untuk memahami suatu pelajaran di dalam perspektif Alkitabiah, misalnya : mempelajari siklus hidup taoge. Setelah murid mengamati siklus hidup taoge, guru akan mengarahkan murid untuk memikirkan siapa sebenarnya yang merawat dan membuat taoge itu dapat tumbuh di atas kapas. Guru memiliki kewajiban mengarahkan murid untuk mengenal Allah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Maka, murid bukan hanya sekedar memahami suatu pengetahuan baru (tentang siklus taoge) tetapi juga dibangun kesadaran dan karakternya untuk belajar menghargai dan bersyukur untuk ciptaan Tuhan. Untuk itu, pelajaran yang terintegrasi dengan Alkitab sangat penting dalam pendidikan Kristen.
b.   Fungsi orang dewasa (orangtua dan guru). (Ul 6:4-9, Maz 78:1-7, Ef 6:1-4, Luk 6:39-40, Kol 2:6-8, 1 Tim 4:6-11)
Mandat untuk mendidik anak dari Allah diberikan terutama kepada orangtua, kemudian kepada guru. Pendidikan Kristen akan berjalan efektif jika orangtua dan guru adalah orang yang takut akan Tuhan, yang benar-benar mengerti, mengajar, dan hidup dalam cara pandang Alkitabiah. Dengan demikian, sangat penting bagi sekolah (jika memungkinkan bekerjasama dengan gereja) untuk memberikan pelatihan/seminar secara berkesinambungan kepada orangtua dan guru mengenai pendidikan anak yang Alkitabiah.
Seorang guru Kristen yang baik adalah pribadi yang benar-benar memahami panggilannya sebagai guru dan menggunakan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya dengan bertanggungjawab. Hal ini lebih penting daripada seorang guru yang terlatih dalam teknik-teknik mengajar yang professional. Tujuan utama seorang guru Kristen adalah membimbing anak didik untuk mengenal dan percaya pada sang kebenaran absolut, sang Juruselamat, yaitu Yesus Kristus.   
c.   Pengasuhan dalam sekolah (Maz 8, Ef 2:10, Ef 4:20-24, Fil 1:3-11)
Seorang pendidik Kristen yang Alkitabiah akan memiliki pandangan bahwa setiap anak diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, dan masing-masing mereka pasti memiliki karunia dan talenta yang unik. Tugas orangtua dan pendidik adalah membantunya menemukan dan mengembangkan kepribadian dan karunianya.
Sebagai ciptaan yang sesuai dengan gambar dan rupa Allah, setiap anak didik harus membuat pilihan-pilihan moral yang bertanggungjawab dalam hidupnya, maka pengajaran dalam sekolah Kristen tidak hanya sekedar memberikan instruksi-instruksi kepada anak didik, atau menyediakan lingkungan pembelajaran yang membuka kesempatan kepada anak didik untuk terlibat dalam komunitas, termasuk di dalamnya mengatur tata ruang kelas untuk meningkatkan interaksi anak dalam komunitas. Namun, sekolah harus menuntun mereka untuk mengenal Kristus dan menemukan tujuan hidup mereka yang telah diberikan Tuhan.    
Anak didik kita merupakan manusia yang sudah terpengaruh oleh dosa turunan maka mereka perlu keselamatan dari Kristus. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut, sekolah dapat menerapkan pola disiplin dan pemberian hadiah (reward) kepada anak. Disiplin diberikan bukan hanya bertujuan modifikasi perilaku, namun mengajar anak mengetahui dan mengakui suatu kebenaran, Tujuan utama adalah pemulihan perilaku dan penyadaran hati anak tersebut. Pemberian hadiah (reward) diberikan bukan hanya berdasarkan pada kepemilikan talenta tetapi bagaimana penggunaan talenta tersebut. Reward dilihat sebagai perayakan pertanggungjawaban kesetiaan anak dalam menggunakan talenta yang diberikan kepadanya.[8]
d.     Pendidikan Karakter
Keberhasilan pendidikan Kristen bukanlah dinilai hanya dari pencapaian akademis, namun apakah sekolah Kristen tersebut menghasillkan anak didik yang takut akan Tuhan dan menjadi berkat bagi lingkungannya.
Untuk mencapai pendidikan Kristen yang berpusat pada Alkitab, maka pendidikan karakter yang diberikan kepada anak dilakukan melalui pengintegrasian subyek pelajaran berdasarkan Alkitab. Anak akan memperoleh contoh karakter Alkitabiah dari tokoh-tokoh Alkitab, terutama Kristus. Pendidik Kristen percaya bahwa anak terlahir dengan dosa turunan sehingga memiliki kecendrungan untuk berbuat dosa, sebab itu perlu diajar untuk memiliki karakter ilahi. Pendidik Kristen harus memberikan contoh hidup yang nyata dari karakter-karakter yang diajarkan di dalam kelas.

Filosofi dan Nilai inti Montessori   
Pendidikan metode Montessori didasarkan pada filosofi self-construction (pembentukan diri sendiri). Dr. Montessori berkata, "A child's work is to create the person she will become."[9] Tugas seorang anak adalah menciptakan dirinya menjadi sebagaimana dia dihari depan. Dr. Montessori percaya bahwa seorang anak yang lahir memiliki kekuatan mental, sebab itu anak harus diberikan kebebasan dalam menggunakan kekuatannya, untuk membangun kekuatan fisik, intelektual dan spiritual.[10] Anak dapat menemukan kebenaran tersebut di dalam dirinya sendiri.
Berikut ini akan dijabarkan beberapa nilai inti dari metode Montessori yang bertentangan dengan pemahaman iman Kristen : 
a.  Berpusat pada anak (Child-centered)
Pusat pengajaran metode Montessori adalah anak. Setiap anak dipercaya memiliki kekuatan mental sejak lahir, maka pendidik harus sangat peka terhadap kesiapan dan kebutuhan belajar anak. Semua alat peraga yang dipergunakan memiliki tujuan khusus, rencana pembelajaran dalam kurikulum sudah diteliti terlebih dahulu dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan belajar anak sesuai dengan tingkat umur dan kesiapannya. Dengan pemahaman bahwa anak dapat dipercaya untuk mencapai tujuan di dalam dirinya, maka ia diberikan kebebasan untuk memilih pelajaran apapun yang disukainya dan dalam satu waktu yang bersamaan. Misalnya, guru tidak menetapkan saat ini sebagai saat pelajaran bahasa, maka setiap anak bebas memilih pelajaran yang disukainya sesuai dengan kondisi ruangan yang besar, yang telah diberikan area-area subyek pelajaran yang dibatasi oleh tembok/pintu.
Mungkin ada sisi yang baik dalam hal ini, yaitu seorang anak dapat memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensinya, peka dan adanya penyesuaiaan kurikulum dengan kemampuan anak masing-masing. Namun, sangat berbahaya jika anak tidak diajarkan bahwa Tuhan yang memberikan potensi dan kemampuan kepada manusia. Bila mereka tidak memahami hal ini, maka mereka akan tumbuh menjadi manusia yang mengandalkan diri sendiri dan lupa pada penciptanya. Dalam mempelajari satu subyek pelajaran, anak juga menjadi terbatas karena hanya mengenal kulit luar dari pengetahuan itu tanpa mengetahui sumber dari pengetahuan tersebut.
b.  Fungsi orang dewasa (orangtua dan guru)
Fungsi orang dewasa, baik orangtua dan guru terbatas karena hanya sebagai pengamat (mengamati ketertarikan & kebutuhan anak akan suatu pelajaran) dan bertugas untuk menyediakan lingkungan yang tepat untuk memenuhi minat anak.
Berdasarkan filosofi yang dipercaya Montessori, yaitu bahwa anak memiliki inner guide dalam dirinya, maka semua peralatan Montessori (alat peraga pembelajaran) dirancang sedemikian rupa sehingga anak dapat mengoreksi dirinya dan menemukan kebenaran sendiri dari eksperimennya dengan alat peraga tersebut. Orangtua atau guru tidak perlu memberitahukan mana yang benar/salah, tugas orangtua dan guru hanya mengarahkan anak kepada material-material sesuai dengan tingkat kesiapan belajar anak.[11]  
Sisi positif dari metode ini pada anak adalah terbangunnya rasa percaya diri, keberanian dalam memutuskan sesuatu dan mencoba sesuatu yang baru. Anak bukan hanya memperoleh pemahaman melalui penjelasan orang dewasa saja namum ia akan mendapatkan pengalaman dan pemahaman yang timbul dari penemuannya (discovery learning). Bahaya terbesar dalam hal ini adalah anak akan terus tumbuh menjadi pribadi yang percaya pada dirinya sendiri, tidak mengandalkan Tuhan, dan merasa bahwa ia mampu menemukan kebenaran sejati dalam kehidupan ini.
Montessori tidak setuju jika orangtua/guru mempengaruhi anak dalam pemikiran tentang dunia ini (sesuai dengan cara pandang orangtua/guru). Ia lebih setuju jika anak dibiarkan menemukan sendiri pemahamannya tentang dunia ini.[12] Hal ini sangat berbeda dengan pendidikan Kristen yang percaya bahwa anak terlahir dalam kondisi berdosa, maka anak perlu dibimbing (bukan diperintahkan) untuk mengenal Kristus dan memiliki cara pandang Alkitabiah (bukan cara pandang orangtua/guru pribadi), serta yang terutama yaitu  anak perlu tahu bahwa kebenaran sejati hanya ada di dalam Kristus. Kebenaran yang ada di luar Kristus hanya bersifat relatif,  karena dihasilkan dari pemahaman/pemikiran manusia yang berada dalam segala keterbatasannya untuk memahami dunia dan segala isinya.
c.      Pengasuhan dalam sekolah
Dengan dasar pemikiran bahwa anak terlahir dengan inner guide dan mental power, maka Dr. Montessori tidak menyetujui disiplin dan reward, atau setidaknya meminimalkan disiplin dan reward di dalam kelas, karena menurutnya,  disiplin dan reward adalah alat untuk memperbaiki kelakuan dan itu hanya berlaku untuk insting yang rendah dari anak. Jika anak dibimbing untuk menemukan self-directing dalam dirinya, maka ia tidak lagi memerlukan disiplin dan reward untuk membuatnya tidak melakukan/melakukan sesuatu. Berikut ini kutipan dari Dr. Montessori :
Like others I had believed that it was necessary to encourage a child by means of some exterior reward that would flatter his baser sentiments, such as gluttony, vanity, or self-love, in order to foster in him a spirit of work and peace. And I was astonished when I learned that a child who is permitted to educate himself really gives up these lower instincts. I then urged the teachers to cease handing out the ordinary prizes and punishments, which were no longer suited to our children, and to confine themselves to directing them gently in their work.[13]

Pendidikan Kristen percaya bahwa tidak mungkin seorang anak yang memiliki keterbatasan dan status keberdosaan itu mampu mencapai karakter ilahi tanpa disiplin. Allah sendiri mendisiplin umat yang dikasihiNya. Hal ini tertulis dalam Ibrani 12: 5-6, “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan jangan putus asa apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya dan Ia mencambuk orang yang diakuiNya sebagai anak.” Tuhan menghajar/mendisiplin dengan kasih agar perilaku kita berubah, dipulihkan dan dimurnikan sehingga semakin serupa dengan Kristus, Maka dalam hal ini, pendidik Kristen harus meneladani Kristus untuk mendisiplin anak didiknya dengan cara yang sesuai dengan pengajaran pendidikan Kristen.
d.      Pendidikan Karakter
Menurut metode Montessori, pendidikan karakter juga dianggap sama penting dengan pendidikan akademik. Hanya saja, mereka percaya bahwa pendidikan karakter dapat diajarkan dengan cara mengajar anak untuk mengurus diri sendiri dan lingkungan, belajar memasak, membersihkan ruangan, berkebun, berbicara dengan sopan, penuh perhatian dan suka menolong, melakukan pekerjaan sosial dalam komunitas, dan lain-lain. [14] Selain itu, karakter anak dapat terbentuk dengan baik jika anak diberikan waktu berkonsentrasi yang cukup lama dalam melakukan pekerjaannya/belajar tanpa intervensi. Mereka bahkan menyamakan fungsi dari konsentrasi anak ini dengan fungsi meditasi/berdoa.[15] Berikut ini adalah kutipan dari ucapan Dr. Montessori :
When the children had completed an absorbing bit of work, they appeared rested and deeply pleased. It almost seemed as if a road had opened up within their souls that led to all their latent powers, revealing the better part of themselves. They exhibited a great affability to everyone, put themselves out to help others and seemed full of good will.
— Maria Montessori, MD[16]

Melalui pandangan ini terlihat dengan jelas perbedaan metode Montessori dengan pendidikan Kristen, karena Dr. Montessori berangkat dari kepercayaan bahwa manusia lahir dengan kebijaksanaan dan kebaikan natural, maka karakter yang baik itu akan muncul dengan sendirinya melalui “pekerjaan” yang dilakukan anak secara rutin.
Karakter baik yang dihasilkan oleh anak ini hanyalah kebaikan relatif/kebaikan moral. Karakter baik ini berbeda dengan karakter ilahi yang diajarkan dalam pendidikan Kristen. Karakter ilahi bersumber dari Kristus.  Artinya, manusia  mampu berbuat baik karena Kristus yang memampukan kita (bahkan sampai mampu berbuat baik kepada orang yang jahat kepada kita), selain itu karakter ilahi akan menghasilkan nilai yang kekal. Ketika pengikut Kristus menolong orang/menjadi berkat bagi orang lain, ia tidak hanya bertujuan agar orang tersebut tertolong secara fisik, tapi juga tertolong jiwanya dan memiliki pengharapan baru dalam Kristus.

Dengan berbagai kajian dan pertimbangan di atas, maka diharapkan sekolah Kristen dan orangtua siswa memahami kelebihan  dan batasan penggunaan metode Montessori bagi sekolah yang menyelenggarakan pendidikan Kristen. Dalam konteks pendidikan Kristen yang memakai pendekatan Alkitabiah, metode Montessori bukanlah metode yang buruk, namun perlu dipahami bahwa metode Montessori tetap memiliki keterbatasan untuk menyelami essensi dan eksistensi manusia. Hanya dengan pendidikan yang berasaskan back to the Bible, manusia dapat menemukan keutuhan dirinya. Sebagaimana Barth mengatakan : Man doesn't know himself of himself, but has to be told about himself through the manifestation of Jesus Christ[17].

SELAMAT MENJADI PENDIDIK KRISTEN YANG KRISTIS DAN MAMPU MENJAWAB KEBUTUHAN ESSENSI MANUSIA YANG BERDOSA DI ZAMAN INI YAITU MANUSIA MEMERLUKAN ALLAH, YANG DINYATAKAN MELALUI KRISTUS YESUS. 


[1] Daniel Neuhaus, M.Th., M.Ed. 2010, Foundation and Philosophy of Christian School Education module, Cycle VI, ACSI. Jakarta-Surabaya: 15-17 Februari, 19-20 Februari. Session 1.
[2] Wikipedia
[3] Jack Layman dkk (ACSI), Foundations of Christian School Education (Perspectives on Christian Teaching), h. 21
[4] Ibid. h. 30-31.
[5] Alkitab Terjemahan Baru (TB), LAI, 1974, Kejadian 3:5.
[6] Jack Layman dkk (ACSI), Foundations of Christian School Education (Perspectives on Christian Teaching), h. 27.
[7] Daniel Neuhaus, M.Th., M.Ed. 2010, Foundation and Philosophy of Christian School Education module, Cycle VI, ACSI. Jakarta-Surabaya: 15-17 Februari, 19-20 Februari. Session 3.
[8] Jack Layman dkk (ACSI), Foundations of Christian School Education (Perspectives on Christian Teaching), h. 77-78.
[9] http://www.atlassociety.org/guide-montessori
[10] http://www.counciloakmontessori.org/philosophy.html
[11] http://www.atlassociety.org/guide-montessori
[12] Bandingkan dengan http://www.michaelolaf.net/1CW312teach.html
[13] http://www.michaelolaf.net/1CW312MI.html
[14] http://www.michaelolaf.net/1CW312MI.html#Education
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Karl Barth, Church Dogmatics, G.W. bromiley (ed), New York: Harper Torch Book Publisher,1961,p.87.